Kategori: Uncategorized

  • Pendudukan Jepang di Hindia-Belanda

    Pendudukan Jepang di indonesia

    Masa pendudukan Jepang di Nusantara yang saat itu masih bernama Hindia Belanda dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta.

    Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Jerman Nazi. Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga dan mengalihkan ekspor untuk Kekaisaran Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal pada Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan hampir seluruh wilayah Asia Tenggara pada bulan Desember di tahun yang sama.Pada bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pengalaman penduduk di bawah penguasaan bervariasi, tergantung tempat seseorang tinggal dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan tanpa alasan dan hukuman mati, serta kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan .

    Selama masa pendudukan, juga membentuk badan persiapan kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau dalam bahasa : 独立準備調査会, Dokuritsu Junbi Chōsakai. Badan ini bertugas membentuk persiapan-persiapan pra-kemerdekaan dan membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI atau dalam bahasa Jepang: 独立準備委員会, Dokuritsu Junbi Inkai yang bertugas menyiapkan kemerdekaan.

    Latar belakang Pendudukan Jepang

    Pada Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe Fumimaro sebagai Perdana Menteri .Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Tambelang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941, mereka melihat bahwa Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda harus dihadapi sekaligus apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi yang sangat dibutuhkan untuk industri di maupun untuk keperluan perang.

    Laksamana Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut , mengembangkan sebuah strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infanteri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.

    Pada pagi 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menghancurkan 188 pesawat dan merusak delapan kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat. Selama dua jam pengeboman, 2.402 orang Amerika tewas dan 1.283 lainnya luka-luka. Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor.

    Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap . Tiga hari kemudian, Jerman menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Kondisi ini menjadikan Amerika Serikat bergabung dengan pasukan Sekutu dan terlibat pertempuran di Eropa dan Asia Pasifik.

    Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan menyerang dan menduduki Hindia Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.

    Invasi Jepang

    Pada tanggal 8 Desember 1941, pemerintah di pengasingan Belanda menyatakan perang terhadap . Pada bulan Januari 1942 Komando Amerika-Inggris-Belanda-Australia dibentuk untuk mengkoordinasikan pasukan Sekutu di Asia Tenggara, di bawah komando Jenderal Archibald Wavell. pada minggu-minggu menjelang invasi, pejabat senior pemerintah Belanda mengasingkan diri, membawa tahanan politik, keluarga, dan staf pribadi ke Australia. Sebelum kedatangan pasukan , terdapat konflik antara kelompok-kelompok di Indonesia yang mengakibatkan banyak orang terbunuh, hilang, atau bersembunyi. Properti milik orang Cina dan Belanda dijarah dan dihancurkan.

    Invasi pada awal tahun 1942 berlangsung cepat dan menyeluruh. Pada bulan Januari 1942, sebagian Sulawesi dan Kalimantan berada di bawah kendali Jepang. Pada bulan Februari, Jepang telah mendarat di Sumatera dan mendorong orang Aceh untuk memberontak melawan Belanda. Pada tanggal 19 Februari, setelah merebut Ambon, Satgas Timur Jepang mendarat di Timor, menerjunkan unit parasut khusus ke Timor Barat dekat Kupang, dan mendarat di daerah Dili di Timor Portugis untuk mengusir pasukan Sekutu yang menyerbu pada bulan Desember.

    Pada tanggal 27 Februari, upaya terakhir angkatan laut Sekutu untuk membendung Jepang digagalkan oleh kekalahan mereka dalam Pertempuran Laut Jawa.Dari tanggal 28 Februari hingga 1 Maret 1942, pasukan Jepang mendarat di empat tempat di sepanjang pantai utara Jawa hampir tanpa gangguan. Pertempuran paling sengit terjadi di titik-titik invasi di Ambon, Timor, Kalimantan, dan di Laut Jawa. Di tempat yang tidak ada pasukan Belanda, seperti Bali, tidak terjadi pertempuran. Pada tanggal 8 Maret, tentara Jepang menyita stasiun radio NIROM di Batavia dan memerintahkan siaran tetap dilanjutkan. Para pegawai radio dengan menantang memainkan lagu Het Wilhelmus yang mengakibatkan Jepang mengeksekusi 3 orang di antaranya. Pada tanggal 9 Maret, komandan Belanda menyerah bersama Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.

    Pendudukan Jepang pada awalnya disambut dengan semangat optimis oleh masyarakat Indonesia yang datang menemui tentara Jepang sambil mengibarkan bendera dan meneriakkan dukungan seperti “Jepang adalah kakak kita” dan “banzai Dai Nippon”. Ketika Jepang maju, orang-orang Indonesia yang memberontak di hampir seluruh wilayah nusantara membunuh kelompok-kelompok orang Eropa (khususnya Belanda) dan memberi tahu Jepang yang mereka percaya mengenai keberadaan kelompok-kelompok yang lebih besar.Seperti yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer: “Dengan kedatangan Jepang, hampir semua orang penuh harapan, kecuali mereka yang pernah bekerja untuk melayani Belanda

    Administrasi Jepang

    Berharap bahwa para administrator Belanda akan tetap dipegang oleh Jepang untuk menjalankan koloni, sebagian besar orang Belanda menolak untuk pergi. Sebaliknya, mereka dikirim ke kamp penahanan dan penggantinya dari Jepang atau Indonesia ditempatkan pada posisi senior dan teknis.Pasukan Jepang menguasai birokrasi sektor infrastruktur dan layanan pemerintah seperti pelabuhan dan layanan pos. Selain 100.000 warga sipil Eropa (dan beberapa warga Tiongkok) yang diinternir, 80.000 tentara Belanda, Inggris, Australia, dan Sekutu AS dikirim ke kamp tawanan perang dengan tingkat kematian antara 13 dan 30 persen. Kelas penguasa Indonesia (terdiri dari pejabat lokal dan politisi yang pernah bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda) bekerja sama dengan otoritas militer Jepang yang pada gilirannya membantu menjaga elit politik lokal tetap berkuasa dan mempekerjakan mereka untuk memasok kebutuhan industri, bisnis, dan angkatan bersenjata Jepang yang baru datang. Kerja sama Indonesia memungkinkan pemerintah militer untuk fokus pada pengamanan perairan dan udara di kepulauan besar tersebut dan menggunakan pulau-pulaunya sebagai pos pertahanan terhadap serangan Sekutu (yang diasumsikan kemungkinan besar berasal dari Australia).

    Jepang membagi Indonesia menjadi tiga wilayah terpisah; Sumatera (bersama Malaya) ditempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25, Jawa dan Madura di bawah Angkatan Darat ke-16, sedangkan Kalimantan dan Indonesia bagian timur dikuasai oleh Armada Selatan ke-2 Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (IJN) yang berpangkalan di Makassar. Angkatan Darat ke-16 bermarkas di Jakarta dan Angkatan Darat ke-25 bermarkas di Singapura hingga April 1943, ketika komandonya dipersempit menjadi hanya di Sumatera dan markas besarnya dipindahkan ke Bukittinggi.

    Di Jawa, Angkatan Darat ke-16 berencana mengelola Jawa sebagai satu entitas kesatuan. Namun pihak militer tidak membawa cukup administrator yang handal untuk membentuk badan terpisah. Sejumlah besar penduduk Jepang di Jawa, yang bisa memberi nasihat kepada pemerintah, dibawa ke Australia ketika perang pecah, sementara sekelompok pejabat sipil terbunuh dalam Pertempuran Laut Jawa. Permasalahan ini diperparah oleh fakta bahwa hanya sedikit orang Indonesia yang bisa berbahasa Jepang. Pada bulan Agustus 1942 pemerintahan secara resmi dipisahkan dari komando tentara. Pemerintahan militer (gunsei) dikepalai oleh kepala staf Angkatan Darat ke-16 (gunseikan). Wakilnya mengepalai bagian terpenting pemerintahan, Departemen Urusan Umum (Jepang: 総務部), yang bertindak sebagai sekretariat dan mengeluarkan kebijakan. Ada tiga Gunseikan untuk Jawa selama pendudukan:

    • Imamura Hitoshi
    • Harada Kumakichi
    • Yamamoto Moichiro

    Sumatera juga punya Gunseikan. Di wilayah yang dikuasai angkatan laut, rencananya wilayah tersebut akan diubah menjadi koloni permanen yang dikelola oleh birokrat sipil Jepang, namun tetap berada di bawah angkatan laut. Oleh karena itu, IJN membawa serta pegawai sipilnya. Kepala administrator sipil (sōkan) bertanggung jawab langsung kepada Komandan Armada Area Barat Daya. Di bawah Sōkan ada tiga departemen administrasi yang bermarkas di Makassar, Banjarmasin, dan Ambon

    Penanganan terhadap Rakyat Indonesia

    kebijakan untuk pendidikan sangat bervariasi, tergantung pada lokasi dan posisi sosial. Banyak orang yang tinggal di wilayah yang dianggap penting bagi upaya perang mengalami penyiksaan, perbudakan seks, penangkapan dan eksekusi sewenang-wenang serta kejahatan perang lainnya. Ribuan orang dibawa keluar dari Indonesia sebagai pekerja paksa (romusha) untuk proyek-proyek militer Jepang, termasuk jalur kereta api Burma-Siam dan Saketi-Bayah. Banyak dari mereka menderita atau meninggal akibat penganiayaan dan kelaparan. Diperkirakan antara 200.000 hingga 500.000 romusha yang direkrut dari Jawa dipaksa bekerja oleh militer Jepang.

    Puluhan ribu masyarakat Indonesia kelaparan, bekerja sebagai buruh paksa, atau terpaksa meninggalkan rumah mereka. Dalam Revolusi Nasional berikutnya, puluhan bahkan ratusan ribu orang akan tewas dalam pertempuran melawan Jepang, pasukan Sekutu, dan sesama masyarakat Indonesia lainnya, sebelum kemerdekaan tercapai.Laporan PBB selanjutnya menyatakan bahwa 4.000.000 orang tewas di Indonesia akibat kelaparan dan kerja paksa selama pendudukan Jepang, termasuk 30.000 kematian warga sipil di interniran Eropa. Sebuah penelitian pemerintah Belanda yang menggambarkan bagaimana militer Jepang merekrut perempuan sebagai pelacur secara paksa di Indonesia menyimpulkan bahwa di antara 200 hingga 300 perempuan Eropa yang bekerja di rumah bordil militer Jepang, “sekitar enam puluh lima orang kemungkinan besar dipaksa menjadi pelacur.” Perempuan muda lainnya (dan keluarga mereka), yang dihadapkan pada berbagai tekanan di kamp interniran atau di masyarakat masa perang, menyetujui tawaran pekerjaan, yang sifatnya sering kali tidak disebutkan secara eksplisit

    Organisasi yang Didirikan di Zaman Jepang

    • Pembela Tanah Air (PETA)
    • Gakutotai (laskar pelajar)
    • Heiho (barisan cadangan prajurit)
    • Seinendan (barisan pemuda)
    • Fujinkai (barisan wanita)
    • Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
    • Jawa Hokokai (Himpunan kebaktian Jawa)
    • Keibodan (barisan pembantu polisi)
    • Jibakutai (pasukan berani mati)
    • Kempetai (barisan polisi rahasia)

    Film propaganda

    Sejak awal datang ke Indonesia pada tahun 1942 hingga melenggang keluar Indonesia pada tahun 1945, Jepang banyak memproduksi film-film propaganda. Kala itu, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang terpengaruh. Terlebih dengan bumbu dan gorengan semangat anti-sekutu—yang mana Belanda termasuk di dalamnya—dan telah lama menjajah Indonesia.

    Ketika sekutu masuk ke Indonesia, film-film propaganda produksi Jepang ini disita. Pada Agustus 2020, Nederlandsch Instituut voor Beeld en Geluid merilis film-film propaganda Jepang hasil sitaan sekutu yang diproduksi selama Perang Pasifik ketika Hindia-Belanda diduduki oleh Jepang ke Wikimedia Commons

    TEMPAT BERMAIN SLOT YANG ASIK : PANGLIMA79

  • Hindia Belanda, menjajah indonesia

    Penjajahan Belanda di Indonesia

    Hindia Belanda atau Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Nederlandsch)-Indië) (bahasa Inggris: Dutch East Indies) adalah sebuah daerah pendudukan Belanda yang wilayahnya saat ini dikenal dengan nama Republik Indonesia. Berdasarkan Perjanjian Inggris-Belanda 1824, Belanda telah menyerahkan Melaka Belanda kepada Inggris, yang dulunya merupakan kegubernuran di Hindia Belanda. Hal ini telah mengkonsolidasikan pemerintahan modern ke negara bagian Melaka di Malaysia. Hindia Belanda dibentuk sebagai hasil dari penasionalan tanah-tanah koloni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang berada di bawah pemerintahan Belanda pada tahun 1800.

    Selama abad ke-19, daerah jajahan dan pengaruh Belanda diperluas, mencapai batas wilayah kekuasaan terbesar mereka pada awal abad ke-20. Hindia Belanda adalah salah satu jajahan Eropa yang paling berharga di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda, dan menyumbang pada keunggulan Belanda di dunia dalam perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20.Tatanan masyarakat kolonial didasarkan pada struktur rasial dan sosial yang kaku dengan para elite Belanda yang tinggal terpisah tetapi tetap berhubungan dengan penduduk pribumi yang dijajah mereka.Istilah “Indonesia” mulai digunakan untuk tempat geografis setelah tahun 1880. Pada awal abad 20, para cendekiawan lokal mulai mengembangkan gagasan Indonesia sebagai negara dan bangsa, dan menetapkan panggung untuk gerakan kemerdekaan.

    Pendudukan Jepang pada Perang Dunia II melemahkan sebagian besar negara jajahan dan ekonomi Belanda. Setelah Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, kaum nasionalis Indonesia menyatakan kemerdekaan yang mereka perjuangkan selama Revolusi Nasional Indonesia yang terjadi pada bulan-bulan berikutnya. Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949 dan menyerahkan seluruh wilayah bekas jajahannya, dengan pengecualian wilayah Papua (Nugini Belanda), yang diserahkan ke Indonesia 14 tahun kemudian pada tahun 1963 berdasarkan ketentuan Persetujuan New York di Markas Besar PBB.

    Etimologi

    Kata Hindia berasal dari bahasa bahasa Latin: Indus. Nama asli Dutch Indies (bahasa Belanda: Nederlandsch-Indië) diterjemahkan oleh orang Inggris sebagai “Hindia Timur Belanda”, untuk membedakannya dengan Hindia Barat Belanda. Nama “Hindia Belanda” tercatat dalam dokumen Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada awal tahun 1620-an.

    Para sejarawan yang menulis dalam bahasa Inggris menggunakan istilah Indië, Hindia, Hindia Timur Belanda, Hindia Belanda, dan kolonial Indonesia secara bergantian.

    Sejarah

    Kekuasaan VOC

    Berabad-abad sebelum orang-orang Eropa tiba, wilayah kepulauan Indonesia dihuni berbagai entitas, termasuk kerajaan-kerajaan perdagangan pesisir yang berorientasi komersial dan kerajaan agraris pedalaman (yang paling penting adalah Sriwijaya dan Majapahit).Bangsa Eropa pertama yang tiba adalah Portugis pada tahun 1512. Setelah menemui gangguan terhadap akses rempah-rempah di Eropa,Belanda melakukan ekspedisi pelayaran pertama ke Hindia Timur pada tahun 1595 untuk mendapatkan rempah-rempah secara langsung dari Asia. Ketika mereka menghasilkan keuntungan hingga 400%, ekspedisi Belanda lainnya segera menyusul. Menyadari potensi perdagangan Hindia Timur, pemerintah Belanda menggabungkan para perusahaan pesaing ke Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC).

    VOC diberikan hak istimewa untuk berperang, membangun benteng, dan membuat perjanjian di seluruh Asia. Ibu kota didirikan di Batavia (sekarang Jakarta), yang menjadi pusat jaringan perdagangan VOC di Asia. Untuk monopoli asli mereka seperti pala, paprika, cengkih dan kayu manis, VOC dan kemudian pemerintah kolonial memperkenalkan tanaman asing untuk non-pribumi seperti kopi, teh, kakao, tembakau, karet, gula dan opium, dan menjaga kepentingan komersial mereka dengan mengambil alih wilayah sekitarnya. Penyelundupan, biaya perang, korupsi, dan kesalahan manajemen yang terus berlanjut menyebabkan kebangkrutan pada akhir abad ke-18. VOC secara resmi dibubarkan pada tahun 1800 dan barang-barangnya di kepulauan Indonesia (termasuk sebagian besar Jawa, sebagian Sumatera, sebagian besar Maluku, dan daerah pedalaman pelabuhan seperti Makassar, Manado, dan Kupang) dinasionalisasi di bawah Republik Belanda sebagai Hindia Belanda

    Belanda menaklukkan wilayah Minangkabau di Sumatera dalam Perang Padri (1821–1838), dan Perang Jawa (1825–1830) juga mengakhiri perlawanan masyarakat Jawa yang signifikan. Perang Banjarmasin (1859–1863) di tenggara pulau Kalimantan berakhir dengan kekalahan Sultan.Setelah ekspedisi yang gagal untuk menaklukkan Bali pada tahun 1846 dan 1848, peperangan tahun 1849 membawa wilayah Bali bagian utara berada di bawah kendali Belanda. Ekspedisi militer yang paling berkepanjangan adalah Perang Aceh, di mana invasi Belanda pada tahun 1873 dihadapi dengan perlawanan gerilya kaum pribumi dan berakhir dengan menyerahnya Aceh pada tahun 1912. Gangguan terus terjadi di Pulau Jawa dan Sumatra selama sisa abad ke-19. Namun, Pulau Lombok berada di bawah kendali Belanda pada tahun 1894, dan perlawanan suku Batak di Sumatera Utara ditaklukan pada tahun 1895. Menjelang akhir abad ke-19, keseimbangan kekuatan militer bergeser ke arah negara Belanda dengan industri yang sedang berkembang melawan negara pribumi Indonesia dengan pra-industrinya, dan kesenjangan teknologi semakin melebar. Para pemimpin militer dan politikus Belanda percaya bahwa mereka memiliki kewajiban moral untuk membebaskan penduduk asli Indonesia dari para penguasa pribumi yang dianggap menindas, terbelakang, atau tidak menghormati hukum internasional. Meskipun pemberontakan di Indonesia pecah, kekuasaan pemerintah kolonial diperluas ke seluruh wilayah nusantara dari tahun 1901 hingga 1910 dan kontrol atas wilayah tersebut juga diambil dari para penguasa lokal yang tersisa. Sulawesi barat daya dan tengah diduduki pada tahun 1905 hingga 1906, Pulau Bali ditaklukkan dengan kampanye militer pada tahun 1906 dan 1908, begitu pula kerajaan-kerajaan lain yang tersisa di Maluku, Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.Para penguasa lain termasuk Sultan Tidore di Maluku, Pontianak (Kalimantan), dan Palembang di Sumatra, meminta perlindungan Belanda dari kerajaan-kerajaan tetangga sehingga membuat mereka menghindari penaklukan militer oleh Belanda dan mampu menegosiasikan kondisi yang lebih baik di bawah pemerintahan kolonial.Semenanjung Kepala Burung (Nugini Barat), sudah berada di bawah pemerintahan Belanda pada tahun 1920. Wilayah terakhir ini di kemudian hari akan menjadi wilayah Republik Indonesia.

    Sistem Tanam Paksa dan Tata Cara Kuli

    Karena biaya moneter yang tinggi dari beberapa penaklukan Belanda pada abad ke-19, Sistem Tanam Paksa (“Cultuurstelsel”) diterapkan pada tahun 1830. Di bawah sistem ini ditetapkan bahwa petani Indonesia harus menggunakan 20% lahan pertanian mereka untuk tanam paksa komoditi komersial seperti nila, kopi dan gula. Melalui sistem ini banyak keuntungan yang diperoleh; laba bersih perbendaharaan Belanda diperkirakan sekitar 4% dari PDB Belanda pada saat itu dan sekitar 50% dari total pendapatan negara.

    Sistem tersebut terbukti membawa malapetaka bagi penduduk setempat; pada puncaknya, lebih dari 1 juta petani bekerja di bawah Cultuurstelsel dengan insentif yang ekstrem demi keuntungan mengakibatkan pelanggaran yang meluas. Petani sering dipaksa untuk menggunakan lebih dari 20% tanah pertanian mereka, atau tanah yang paling subur, untuk bercocok tanam tanaman komersial. Sistem tersebut menyebabkan peningkatan kelaparan dan penyakit di kalangan petani Jawa pada tahun 1840-an. Menurut sebuah perkiraan, angka kematian meningkat sebanyak 30% selama periode ini.Karena kritik yang meluas terhadap sistem tersebut, sistem ini dihapuskan pada tahun 1870. Menurut sebuah penelitian, angka kematian di Jawa akan menjadi 10–20% lebih tinggi pada akhir tahun 1870-an jika sistem Tanam Paksa tidak dihapuskan.Pengenalan truk, kereta api, sistem telegraf, dan sistem distribusi yang lebih terkoordinasi semuanya berkontribusi terhadap penghapusan kelaparan di Jawa yang secara historis merupakan hal biasa. Jawa mengalami pertumbuhan penduduk yang pesat selama abad ke-19 dan tidak ada kelaparan yang signifikan di Jawa setelah tahun 1840-an.

    Sumber keuntungan lainnya adalah kuli, sebutan untuk buruh kontrak berupah rendah. Setelah penghapusan Sistem Tanam Paksa pada tahun 1870, ekonomi beralih ke perusahaan swasta seperti Deli Company, yang didirikan di Sumatera pada tahun 1869. Perkebunan skala besar dibangun untuk menanam tanaman komersial dan orang-orang Jawa, Cina, Melayu, Batak, dan India dikirim ke perkebunan di Sumatra dan Jawa untuk melakukan kerja kasar. Diperkirakan lebih dari 500.000 kuli diangkut ke Sumatera selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.Tingkat kematian yang tepat di antara buruh kuli tidak diketahui karena catatan yang langka atau tidak dapat diandalkan tetapi diperkirakan mencapai 25%.

    Meskipun kuli sering kali disebut buruh bayaran yang bekerja atas kehendak bebas, dalam praktiknya keadaan mereka sering melibatkan kerja paksa dan lebih mirip perbudakan. Mereka sering disesatkan saat menandatangani kontrak kerja atau bahkan dipaksa menandatangani kontrak. Contoh lainnya mereka sering diculik atau dipaksa bekerja karena hutang. Tata Cara Kuli (“Poenale sanctie”) tahun 1880, yang mengizinkan pemilik perkebunan untuk bertindak sebagai hakim, juri, dan algojo mengakibatkan kekejaman yang meluas. Kekejaman itu termasuk sanksi pidana yang memungkinkan pemilik untuk secara fisik menghukum kuli mereka sesuai keinginan mereka. Hukuman yang digunakan terhadap kuli adalah cambukan atau pemukulan, setelah itu ditambahkan garam ke dalam luka untuk menambah penderitaan. Hukuman lain yang digunakan adalah disetrum, disalib dan digantung pada jari kaki atau ibu jari kuli sampai putus. Perawatan medis untuk kuli jarang dan sering ditujukan untuk menyembuhkan kuli yang dihukum agar mereka dapat kembali bekerja atau disiksa lebih lama lagi. Pemerkosaan kuli perempuan dewasa serta anak-anak mereka juga sering terjadi.

    Sistem kuli dikritik habis-habisan, terutama setelah tahun 1900 dengan munculnya apa yang disebut “Politik Etis”. Sebuah pamflet kritis bernama “De miljoenen uit Deli” diterbitkan oleh J. van den Brand. Dokumen tersebut menggambarkan pelanggaran yang dilakukan terhadap kuli termasuk penyiksaan dan pelecehan seksual terhadap seorang kuli perempuan berusia 15 tahun yang menolak ajakan berhubungan seksual seorang pengawas perkebunan Belanda. Sanksi pidana akhirnya dihapuskan pada tahun 1931 dan Ordonansi Kuli berakhir pada awal tahun 1940-an

    Sistem Njai

    Pada tahap awal kolonisasi, budak seks perempuan pribumi dibeli oleh kolonial Belanda, tetapi praktik ini dihentikan setelah tahun 1860 dengan penghapusan perbudakan. Pada akhir abad ke-19, semakin banyak imigran Belanda yang tiba di kolonial Indonesia, yang menyebabkan mereka kekurangan perempuan, karena sebagian besar imigran adalah laki-laki. Belanda kemudian membeli “Njai”, yaitu perempuan pribumi yang resmi menjadi pembantu tetapi sering juga dijadikan sebagai selir. Meskipun secara resmi menjadi pekerja kontrak, para perempuan ini hanya mendapatkan hak-hak yang sedikit. Mereka dapat dibeli dan dijual bersama dengan rumah tempat mereka bekerja sebagai apa yang disebut “Perabotan Adat” (Inlands Mebel). Njai juga tidak diperbolehkan mengasuh anak-anak yang mereka miliki hasil dari hubungan dengan majikan mereka, dan saat mereka dipecat maka anak-anak mereka akan dibawa pergi.

    Pada tahun 1910-an jumlah Njai menurun, meskipun prostitusi semakin merajalela. Namun, praktik tersebut belum mati pada saat Kekaisaran Jepang menyerang dan menduduki Hindia. Selama pendudukan Jepang, Njai dan anak-anak ras campuran mereka dipisahkan secara paksa dari pria Eropa yang ditempatkan di kamp-kamp pengasingan. Setelah Sukarno memproklamasikan Indonesia merdeka, para Njai terpaksa harus memilih antara pergi bersama pasangannya ke Eropa, atau tetap tinggal di Indonesia.

    Perang Dunia II dan kemerdekaan

    Belanda menyerahkan wilayah mereka di Eropa ke Jerman pada tanggal 14 Mei 1940. Keluarga kerajaan melarikan diri dalam pengasingan di Inggris. Jerman dan Jepang adalah sekutu Poros. Pada tanggal 27 September 1940, Jerman, Hungaria, Italia, dan Jepang menandatangani sebuah perjanjian yang mencakup “lingkup pengaruh”. Hindia Belanda sendiri dimasukkan ke wilayah lingkup pengaruh Jepang.

    Belanda, Inggris dan Amerika Serikat mencoba mempertahankan koloni ini dari pasukan Jepang ketika mereka bergerak ke selatan pada akhir 1941 untuk mencari minyak yang dikuasai Belanda. Pada tanggal 10 Januari 1942, selama Kampanye Hindia Belanda, pasukan Jepang menyerbu Hindia Belanda sebagai bagian dari Perang Pasifik. Perkebunan karet dan ladang minyak Hindia Belanda dianggap penting untuk kepentingan perang Jepang. Pasukan sekutu dengan cepat ditundukkan oleh Jepang dan pada tanggal 8 Maret 1942, Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) menyerah di Jawa.

    Dipicu oleh propaganda perang Jepang Cahaya Asia dan Kebangkitan Nasional Indonesia, sebagian besar penduduk pribumi Hindia Belanda pertama-tama menyambut Jepang sebagai pahlawan pembebasan mereka dari pemerintah kolonial Belanda, tetapi sentimen ini dengan cepat berubah karena pendudukan Jepang ternyata jauh lebih represif dan menghancurkan daripada pemerintah kolonial Belanda. Pendudukan Jepang selama Perang Dunia II mengakibatkan jatuhnya negara kolonial di Indonesia, karena Jepang menyingkirkan sebanyak mungkin struktur pemerintah Belanda, dan menggantinya dengan rezim mereka sendiri. Meskipun posisi teratas di pemerintahan dipegang oleh Jepang, pengasingan semua warga Belanda menandakan bahwa banyak posisi kepemimpinan dan administrasi yang diduduki oleh orang Indonesia. Berbeda dengan penindasan Belanda terhadap nasionalisme Indonesia, Jepang mengizinkan para pemimpin pribumi untuk menjalin hubungan di antara massa, dan mereka melatih dan mempersenjatai generasi yang lebih muda.

    Menurut laporan PBB, empat juta orang meninggal di Indonesia sebagai akibat dari pendudukan Jepang.[Setelah Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, pemimpin nasionalis Soekarno dan Mohammad Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia. Perang empat setengah tahun menyusul peristiwa ini ketika Belanda mencoba membangun kembali koloni mereka; Meskipun pasukan Belanda menduduki kembali sebagian besar wilayah Indonesia, perang gerilya terjadi, dan mayoritas orang Indonesia—serta opini internasional, lebih menyukai kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Desember 1949, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia dengan pengecualian wilayah Nugini Belanda (Nugini Barat). Pemerintahan Soekarno mengklaim kendali Indonesia atas wilayah itu, dan dengan tekanan dari Amerika Serikat, Belanda menyetujui Perjanjian New York yang hasilnya meminta Belanda untuk menyerahkan wilayah tersebut kepada pemerintahan Indonesia pada bulan Mei 1963.

    Sejarah sosial

    Pada tahun 1898, jumlah penduduk di Jawa telah mencapai angka 28 juta, sedangkan 7 juta jiwa lainnya menduduki pulau-pulau terluar Indonesia.Pada paruh pertama abad ke-20, migrasi besar-besaran mulai dilakukan oleh orang Belanda dan Eropa lainnya menuju koloni, tempat mereka bekerja di sektor pemerintah atau swasta. Pada tahun 1930, ada lebih dari 240.000 orang dengan status hukum Eropa di koloni tersebut, sekitar 0.5% dari jumlah total populasi. Sekitar 75% dari orang-orang Eropa ini pada faktanya orang asli Eurasia yang dikenal dengan sebutan Indo-Eropa

    Pihak penjajah Belanda membentuk kelas sosial atas istimewa yang terdiri dari prajurit, pegawai pemerintah, manajer, guru dan para pelopor. Mereka hidup bersama dengan para “pribumi”, namun berada di puncak sistem kasta sosial dan rasial yang kaku. Hindia Belanda memiliki dua kelas hukum untuk seorang warga negara; Eropa dan pribumi. Kelas ketiga, orang Timur asing, ditambahkan pada tahun 1920.

    Pada tahun 1901, Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut sebagai Politik Etis, di mana pemerintah kolonial memiliki tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Langkah-langkah baru lainnya di bawah kebijakan tersebut mencakup program irigasi, transmigrasi, komunikasi, mitigasi banjir, industrialisasi, dan perlindungan industri pribumi. Industrialisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap mayoritas penduduk Indonesia, dan Indonesia tetap saja merupakan koloni yang bergantung pada pertanian. Pada tahun 1930, ada 17 kota dengan populasi lebih dari 50.000 dan populasi gabungan mereka berjumlah 1,87 juta dari total 60 juta

    Pemerintah

    Sejak zaman VOC, otoritas tertinggi Belanda di Hindia Belanda berada di “Kantor Gubernur Jenderal”. Selama era Hindia Belanda, Gubernur Jenderal berperan sebagai presiden eksekutif utama dari pemerintah kolonial dan menjabat sebagai panglima tertinggi tentara kolonial (KNIL). Hingga tahun 1903, semua pejabat dan organisasi pemerintah adalah agen resmi Gubernur Jenderal dan sepenuhnya bergantung pada administrasi pusat dari “Kantor Gubernur Jenderal” untuk anggaran mereka. Hingga tahun 1815, Gubernur Jenderal memiliki hak mutlak untuk melarang, menyensor atau membatasi publikasi apa pun di wilayah koloni. Kekuasaan Gubernur Jenderal yang terlalu besar memungkinkannya untuk mengasingkan siapa pun yang dianggap sebagai pihak subversif dan berbahaya bagi perdamaian dan ketertiban, tanpa melibatkan Pengadilan Hukum

    Hingga tahun 1848, gubernur jenderal diangkat langsung oleh raja Belanda, dan pada tahun-tahun berikutnya melalui Kerajaan dan atas saran kabinet metropolitan Belanda. Selama dua periode (1815–1835 dan 1854–1925) gubernur jenderal memerintah bersama dengan dewan penasehat yang disebut Raad van Indie (Dewan Hindia). Kebijakan dan strategi kolonial menjadi tanggung jawab Kementerian Koloni yang berbasis di Den Haag. Dari tahun 1815 sampai 1848 kementerian berada di bawah kekuasaan langsung raja Belanda. Pada abad ke-20, koloni ini secara bertahap berkembang menjadi negara yang berbeda dari metropolis Belanda dengan perbendaharaannya dipisahkan pada tahun 1903, pinjaman publik dikontrak oleh kolonial sejak tahun 1913, dan hubungan kuasi-diplomatik dibangun dengan Arabia untuk mengelola ibadah Haji dari Hindia Belanda. Pada tahun 1922 Hindia Belanda berdiri sejajar dengan Belanda dalam konstitusi Belanda, walaupun tetap berada di bawah Kementerian Koloni

     

    Gubernur jenderal memimpin hirarki pejabat Belanda; lalu diikuti oleh residen, asisten residen, dan pejabat distrik atau yang sering disebut controllers. Penguasa tradisional yang selamat dari penaklukan Belanda dilantik sebagai bupati dan aristokrat pribumi menjadi pegawai negeri pribumi. Meskipun secara de facto mereka kehilangan kekuasaan, kekayaan dan kemegahan mereka di bawah pemerintahan Belanda semakin bertambah. Pemerintahan tidak langsung bagi pribumi ini tidak mengganggu kaum tani dan hemat biaya bagi Belanda; pada tahun 1900, hanya 250 pegawai negeri Eropa dan 1.500 pegawai negeri pribumi, serta 16.000 perwira dan prajurit Belanda serta 26.000 tentara bayaran pribumi, yang diwajibkan untuk memerintah 35 juta warga kolonial. Sejak tahun 1910, Belanda menciptakan kekuasaan negara yang paling tersentralisasi di Asia Tenggara. Secara politis, struktur kekuasaan yang sangat terpusat yang dibentuk oleh pemerintahan Belanda, termasuk kekuasaan pengasingan dan penyensoran yang sangat tinggi, dibawa ke dalam republik Indonesia yang baru.

    Dewan Rakyat yang disebut Volksraad untuk Hindia Belanda dimulai pada tahun 1918. Volksraad terbatas pada peran penasihat dan hanya sebagian kecil penduduk pribumi yang dapat memilih anggotanya. Dewan tersebut terdiri dari 30 anggota pribumi, 25 orang Eropa dan lima orang Tionghoa dan penduduk lainnya, dan dipilih kembali setiap empat tahun. Pada tahun 1925 Volksraad dijadikan badan semi-legislatif;  meskipun keputusan masih dibuat oleh pemerintah Belanda, gubernur jenderal diharapkan untuk berkonsultasi dengan Volksraad mengenai masalah-masalah besar. Volksraad dibubarkan pada tahun 1942 selama pendudukan Jepang.

    Sistem hukum dibagi oleh tiga kelompok etnis utama yang diklasifikasikan di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Orang Eropa, Orang Asing Timur (Arab dan China) dan pribumi; ketiga kelompok ini tunduk pada sistem hukum mereka sendiri, yang semuanya berlaku secara bersamaan.

    Pemerintah Belanda mengadaptasi kitab undang-undang Belanda di daerah jajahannya. Pengadilan hukum tertinggi, Mahkamah Agung di Batavia, menangani banding dan memantau hakim dan pengadilan di seluruh koloni. Enam dewan keadilan (Raad van Justitie) sebagian besar menangani kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dari kelas hukum Eropa dan hanya secara tidak langsung menangani penduduk pribumi. Dewan pertanahan (Landraden) berurusan dengan masalah perdata dan pelanggaran ringan seperti perceraian harta benda, dan perselisihan pernikahan. Penduduk asli tunduk pada hukum adat masing-masing dan tunduk pada bupati dan pengadilan negeri adat, kecuali jika kasusnya dibawa ke hadapan hakim Belanda.Setelah kemerdekaan Indonesia, sistem hukum Belanda diadopsi dan secara bertahap sistem hukum nasional yang didasarkan pada ajaran hukum dan keadilan Indonesia didirikan.

    Pada tahun 1920 Belanda telah mendirikan 350 penjara di seluruh koloni. Penjara Meester Cornelis di Batavia memenjarakan narapidana yang paling sulit diatur. Di penjara Sawahlunto di Sumatera para tahanan harus melakukan kerja kasar di tambang batu bara. Penjara terpisah dibangun untuk remaja (Jawa Barat) dan untuk wanita. Di Lapas Wanita Bulu di Semarang, para napi mendapat kesempatan belajar profesi selama di tahanan, seperti menjahit, menenun, dan membatik. Pelatihan ini dijunjung tinggi dan membantu mensosialisasikan kembali perempuan setelah mereka berada di luar lembaga pemasyarakatan Menanggapi pemberontakan komunis tahun 1926, kamp penjara Boven-Digoel didirikan di New Guinea. Sejak tahun 1927, para tahanan politik, termasuk penduduk asli Indonesia yang mendukung kemerdekaan Indonesia, ‘diasingkan’ ke pulau-pulau terluar

    Pembagian administratif

    Hindia Belanda dibagi menjadi tiga gouvernementen—Groot Oost, Borneo dan Sumatra—dan tiga provinsi di Jawa. Provinces dan Government dibagi lagi menjadi Keresidenan—untuk Keresidenan di bawah Provinces langsung dibagi menjadi Regentschappen, sedangkan Karesidenan di bawah Government dibagi menjadi Afdeling

    Pendidikan

    Sistem sekolah Belanda diperluas dan mengizinkan kaum muda Indonesia menempuh pendidikan, dan sekolah-sekolah paling bergengsi menerima anak-anak Belanda dan anak-anak Indonesia dari kelas atas. Pendidikan tingkat kedua didasarkan pada etnis dengan sekolah terpisah untuk orang Indonesia, Arab, dan Cina serta diajarkan dalam bahasa Belanda dan dengan kurikulum Belanda. Orang Indonesia biasa dididik dengan bahasa Melayu dalam alfabet Romawi, sekaligus menjadi sekolah “penghubung” yang mempersiapkan siswa-siswa Indonesia yang cerdas untuk masuk ke sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Sekolah-sekolah kejuruan dan program-program didirikan oleh pemerintah kolonial dalam rangka melatih penduduk pribumi Indonesia untuk peran khusus dalam ekonomi kolonial. Orang Tionghoa dan Arab, yang secara resmi disebut “timur asing”, tidak bisa mendaftar di sekolah kejuruan atau sekolah dasar.

    Lulusan sekolah Belanda membuka sekolah mereka sendiri dengan meniru sistem sekolah Belanda, begitu pula misionaris Kristen, Perhimpunan Teosofis, dan asosiasi budaya Indonesia. Perkembangan sekolah-sekolah ini semakin didorong oleh sekolah-sekolah Muslim baru bergaya Barat yang juga menawarkan mata pelajaran sekuler.Menurut sensus tahun 1930, 6% penduduk Indonesia melek huruf; namun, angka ini hanya mencatat lulusan sekolah Barat dan mereka yang bisa membaca dan menulis dalam bahasa alfabet Romawi. Sensus itu tidak menambahkan lulusan sekolah non-Barat atau mereka yang bisa membaca tetapi tidak bisa menulis Arab, Melayu atau Belanda, atau mereka yang bisa menulis dalam huruf non-Romawi seperti Batak, Jawa, Cina atau Arab

    Beberapa lembaga pendidikan tinggi juga didirikan. Pada tahun 1898 pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah untuk melatih para dokter yang diberi nama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).  Banyak lulusan STOVIA yang kemudian berperan penting dalam pergerakan nasional Indonesia menuju kemerdekaan serta dalam mengembangkan pendidikan kedokteran di Indonesia, seperti Dr. Wahidin Soedirohoesodo yang mendirikan perkumpulan politik Budi Utomo.  De Technische Hoogeschool te Bandung didirikan pada tahun 1920 oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk memenuhi kebutuhan sumber daya teknik atau insinyur di daerah jajahannya. Salah satu lulusan Technische Hogeschool adalah Soekarno yang nantinya akan memimpin Revolusi Nasional Indonesia. Pada tahun 1924, pemerintah kolonial kembali memutuskan untuk membuka fasilitas pendidikan tingkat tinggi yang baru, Rechts Hogeschool (RHS), untuk melatih para perwira dan pegawai sipil. Pada tahun 1927, status STOVIA diubah menjadi perguruan tinggi penuh dan namanya diubah menjadi Geneeskundige Hogeschool (GHS). GHS menempati gedung utama yang sama dan menggunakan rumah sakit pendidikan yang sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saat ini. Hubungan lama antara Belanda dan Indonesia masih terlihat jelas di bidang teknologi seperti desain irigasi. Hingga hari ini, gagasan para insinyur irigasi kolonial Belanda terus memberikan pengaruh yang kuat terhadap praktik desain Indonesia. Selain itu, dua universitas Indonesia dengan peringkat internasional tertinggi, Universitas Indonesia yang didirikan tahun 1898 dan Institut Teknologi Bandung yang didirikan pada tahun 1920, merupakan universitas yang didirikan selama era kolonial.

    Reformasi pendidikan dan reformasi politik sederhana, menghasilkan segelintir elit pribumi Indonesia yang berpendidikan tinggi, yang mempromosikan gagasan “Indonesia” yang merdeka dan bersatu yang akan mempersatukan kelompok-kelompok pribumi yang berbeda di Hindia Belanda. Periode ini sering disebut Kebangkitan Nasional Indonesia, paruh pertama abad ke-20 menyaksikan gerakan nasionalis berkembang dengan kuat, tetapi juga menghadapi penindasan Belanda

    Ekonomi

    Sejarah ekonomi koloni berkaitan erat dengan kesehatan ekonomi Belanda.Meskipun keuntungan yang meningkat dari sistem pajak tanah Belanda, keuangan Belanda sangat terpengaruh oleh biaya Perang Jawa dan Perang Padri, serta kekalahan Belanda atas Belgia pada tahun 1830 yang membawa Belanda ke jurang kebangkrutan. Pada tahun 1830, seorang gubernur jenderal baru, Johannes van den Bosch, ditunjuk untuk membuat Hindia membayar melalui eksploitasi Belanda atas sumber dayanya. Dengan dominasi politik Belanda di seluruh Jawa untuk pertama kalinya pada tahun 1830, mereka memperkenalkan kebijakan pertanian tanam paksa yang dikendalikan pemerintah. Kebijakan itu disebut cultuurstelsel (sistem tanam) dalam bahasa Belanda atau “tanam paksa” dalam bahasa Indonesia. Para petani diwajibkan untuk menyerahkan, sebagai bentuk pajak, hasil panen tertentu dalam jumlah tetap, seperti gula atau kopi. Sebagian besar Jawa menjadi perkebunan Belanda dan pendapatan terus meningkat selama abad ke-19 yang diinvestasikan kembali ke Belanda untuk menyelamatkan negara dari kebangkrutan. Antara tahun 1830 dan 1870, 840 juta gulden (setara €8 miliar pada tahun 2018 diambil dari Hindia Timur, rata-rata menghasilkan sepertiga dari anggaran tahunan pemerintah Belanda. Akan tetapi, Sistem Tanam Paksa membawa banyak kesulitan ekonomi bagi para petani Jawa, yang menderita kelaparan dan wabah penyakit pada tahun 1840-an.

    Pendapat publik yang kritis di Belanda menyebabkan banyak ekses Sistem Tanam Paksa dihilangkan di bawah reformasi agraria dari “Periode Liberal”. Menurut sebuah penelitian, angka kematian di Jawa akan menjadi 10–20% lebih tinggi pada akhir tahun 1870-an jika sistem kerja paksa tidak dihapuskan. Modal swasta Belanda mengalir masuk setelah tahun 1850, terutama di bidang pertambangan timah dan perkebunan. Tambang timah Martavious Company di lepas pantai timur Sumatera dibiayai oleh sindikat pengusaha Belanda, termasuk adik Raja William III. Penambangan dimulai pada tahun 1860. Pada tahun 1863 Jacob Nienhuys memperoleh konsesi dari Kesultanan Deli (Sumatera Timur) untuk perkebunan tembakau besar (Perusahaan Deli). Sejak tahun 1870, Hindia dibuka untuk perusahaan swasta dan para pengusaha Belanda mendirikan perkebunan besar yang menguntungkan. Produksi gula berlipat ganda antara tahun 1870 dan 1885; tanaman baru seperti teh dan kina tumbuh subur, karet juga diperkenalkan, yang menyebabkan peningkatan keuntungan Belanda secara dramatis. Perubahan tidak terbatas hanya pada pulau Jawa di pertanian;  minyak dari Sumatera dan Kalimantan menjadi sumber daya berharga bagi industrialisasi Eropa. Kepentingan komersial Belanda meluas dari Jawa ke pulau-pulau terluar dengan semakin banyak wilayah yang berada di bawah kendali atau dominasi langsung Belanda pada paruh kedua abad ke-19.Namun, kelangkaan lahan untuk produksi padi, ditambah dengan peningkatan jumlah penduduk secara drastis, terutama di Pulau Jawa, menyebabkan kesulitan yang lebih besar

    eksploitasi kekayaan Indonesia secara kolonial berkontribusi pada industrialisasi Belanda, sekaligus meletakkan dasar bagi industrialisasi Indonesia. Belanda memperkenalkan kopi, teh, kakao, tembakau dan karet, dan hamparan luas pulau Jawa menjadi perkebunan yang dibudidayakan oleh petani Jawa, dikumpulkan oleh perantara Cina, dan dijual di pasar luar negeri oleh pedagang Eropa.Pada akhir abad ke-19, pertumbuhan ekonomi didasarkan pada permintaan dunia yang tinggi akan teh, kopi, dan kina. Pemerintah banyak berinvestasi dalam jaringan kereta api (panjang 240 km atau 150 mil pada tahun 1873, 1.900 km atau 1.200 mil pada tahun 1900), serta jalur telegraf, dan pengusaha membuka bank, toko, dan surat kabar. Hindia Belanda menghasilkan sebagian besar pasokan kina dan lada dunia, lebih dari sepertiga karetnya, seperempat produk kelapanya, dan seperlima teh, gula, kopi, dan minyaknya. Keuntungan dari Hindia Belanda menjadikan Belanda salah satu kekuatan kolonial paling signifikan di dunia. Jalur pelayaran Koninklijke Paketvaart-Maatschappij mendukung penyatuan ekonomi kolonial dan membawa pelayaran antar pulau ke Batavia, bukan melalui Singapura, sehingga lebih memfokuskan kegiatan ekonomi di Jawa

    Resesi di seluruh dunia pada akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an menyebabkan harga komoditas yang menjadi sandaran koloni runtuh.  Wartawan dan pegawai negeri mengamati bahwa mayoritas penduduk Hindia tidak lebih baik daripada di bawah ekonomi Sistem Tanam Paksa yang diatur sebelumnya dan puluhan ribu orang kelaparan. Harga komoditas pulih dari resesi, menyebabkan peningkatan investasi di koloni. Perdagangan gula, timah, kopra, dan kopi yang menjadi basis koloni ini berkembang pesat, dan karet, tembakau, teh, dan minyak juga menjadi ekspor utama. Reformasi politik meningkatkan otonomi pemerintahan kolonial lokal, menjauhi kendali pusat dari Belanda, sementara kekuasaan juga dialihkan dari pemerintah pusat Batavia ke unit pemerintahan yang lebih lokal.

    Ekonomi dunia pulih pada akhir 1890-an dan kemakmuran kembali. Investasi asing, terutama oleh Inggris, semakin didorong. Pada tahun 1900, aset asing di Hindia Belanda berjumlah sekitar 750 juta gulden ($300 juta), sebagian besar di Jawa.

    Setelah tahun 1900, peningkatan infrastruktur pelabuhan dan jalan menjadi prioritas utama Belanda, dengan tujuan modernisasi ekonomi, memfasilitasi perdagangan, dan mempercepat pergerakan militer. Pada tahun 1950, para insinyur Belanda telah membangun dan meningkatkan jaringan jalan dengan 12.000 km permukaan beraspal, 41.000 km jalan berlapis logam, dan 16.000 km permukaan kerikil.Selain itu, Belanda membangun rel kereta api sepanjang 7.500 kilometer (4.700 mil), jembatan, sistem irigasi seluas 1,4 juta hektar (5.400 mil persegi) sawah, beberapa pelabuhan, dan 140 sistem air minum umum.  Wim Ravesteijn mengatakan bahwa, “Dengan pekerjaan umum ini, para insinyur Belanda membangun bahan dasar negara Indonesia kolonial dan pascakolonial.”

    Tempat Bermain slot yang asik : Mahkota69